MENGINA TUKANG BECAK #11 #kisah_nyata

Pengalaman ini terjadi pada tahun 1998 ketika saya masih bekerja sebagai pelayan toko emas.
Kebetulan sekali, bos saya memiliki tukang becak langganan. Dialah yang setiap hari selalu antar jemput bos saya. 
Suatu hari, tukang becak itu bercerita kepada bos saya kalau dia naksir salah satu pelayan di toko emasnya dan ingin memperistrinya.
"Siapa?" tanya bos saya penasaran. "Ella"! Jawabnya tegas menyebut nama saya. Kontan saja teman-teman saya mengejek dan saya langsung marah dan berkata pada si tukang becak, "Amit-amit deh punya suami tukang becak! Hidupnya pas-pasan dan akhirnya menyuruh istrinya nanti menjadi TKW. Setelah itu, hasil payah istrinya akan dibuat kawin lari!".

Mungkin Allah mencatat ucapan saya waktu itu. Pada tahun 2000, bulan september, saya berkenalan dengan teman sepupu yang bekerja di toko kain. Obrolan kami pun terasa klop hingga 2 bulan kemudian, tepatnya tanggal 11 Nopember 2000, kami menjadi sepasang kekasih. Setelah itu, pada tanggal 28 Desember 2001, kami pun resmi menikah.

Singkat cerita, kehidupan keluarga kami tidak ada kendala, dan 8 bulan kemudian saya hamil. Lantaran mengandung, saya pun tak sanggup lagi bekerja hingga akhirnya saya berhenti. Saya pun menggantungkan hidup murni dari hasil kerja payah suami saya bekerja. Sayang, gajinya tak mencukupi kehidupan kami. Suami saya pun berhenti kerja dan bilang pada saya kalau dia mau menjadi tukang becak. Karena terpaksa, saya pun menyetujuinya. Namun sayang, tabungan kami hanya cukup untuk membeli becak bekas. Pada saat itulah, saya kaget dan terbayang-bayan g ucapan saya dulu yang mungkin menyakitkan hati tukang becak langganan bos saya. Di dalam hati, saya bertanya-tanya,
"Ya Allah, apakah ini karmaku karena menghina pekerjaan orang itu?"
kendati demikian, saya tetap bersyukur. Saya malah meminta ampunan Allah atas apa yang saya lakukan dulu. Terlebih, suami saya rajin kerja dan ibadah. Alhamdulillah sekarang kami sudah punya rumah sendiri, dan anak saya yang berumur 3 tahun pun tidak kurang suatu apa pun. Maafkanlah hamba-Mu ini, ya Allah, yang telah menghina ciptaan-Mu! maafkanlah karena saya telah membeda-bedakan Hamba-Mu!.
Kini saya menyadari bahwa profesi, kedudukan,statu s sosial. Bukanlah hal yang utama di mata Tuhan melainkan kadar keimanan dan kualitas hidup kitalah yang menentukan drajat kita di sisi-Nya.
Semoga kisah saya ini dapat bermanfaat bagi pembaca :)

No comments:

Post a Comment

Pages